BAB II
TINJAUAN
KEPUSTAKAAN
2.1. Perilaku
2.1.1. Pengertian Perilaku
Perilaku
adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai
bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan
atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat
diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Menurut
Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya
stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons, maka
teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon.
Dilihat
dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi
dua (Notoatmodjo, 2003) :
1. Perilaku
tertutup (convert behavior)
Perilaku
tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung
atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang
terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati
secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku
terbuka (overt behavior)
Respon seseorang
terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap
stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan
mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
2.1.1. Domain Perilaku
Menurut
Bloom, seperti dikutip Notoatmodjo (2003), membagi perilaku itu di dalam tiga
domain (ranah/kawasan), yang terdiri dari ranah pengetahuan (knowlegde), ranah
sikap (attitude), dan ranah tindakan (practice).
1. Pengetahuan
(Knowlegde)
Pengetahuan
adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tanpa pengetahuan seseorang tidak
mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap
masalah yang dihadapi. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung
atau orang lain yang sampai kepada seseorang (Notoatmodjo, 2003)
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang
:
a. Faktor
Internal : faktor dari dalam diri sendiri, misalnya intelegensia, minat,
kondisi fisik.
b. Faktor
Eksternal : faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat, sarana.
c. Faktor
pendekatan belajar : faktor upaya belajar, misalnya strategi dan metode dalam
pembelajaran.
Pengukuran
pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi
materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Pengetahuan
dapat diperoleh melalui proses belajar yang didapat dari pendidikan
(Notoatmodjo, 2003).
2. Sikap
(Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon
yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap
mencerminkan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap
berasal dari pengalaman, atau dari orang yang dekat dengan kita. Mereka dapat
mengakrabkan kita dengan sesuatu, atau menyebabkan kita menolaknya (Wahid,
2007).
Allport
(1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok :
a) Kepercayaan
(keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.
b) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap
suatu objek.
c) Kecenderungan
untuk bertindak (tend to behave).
Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai
berikut :
a. Pemikiran
dan perasaan (Thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan seseorang,
atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek
atau stimulus.
b. Adanya
orang lain yang menjadi acuan (Personal reference) merupakan faktor penguat
sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan-pertimbangan
individu.
c. Sumber
daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau
negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan
dari pada individu tersebut.
d. Sosial budaya (Culture), berperan besar dalam
mempengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek/stimulus
tertentu (Notoatmodjo, 2007).
Teknik skala
yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku adalah dengan menggunakan teknik
skala Guttman. Skala ini merupakan skala yang bersifat tegas dan konsisten
dengan memberikan jawaban yang tegas seperti jawaban dari
pertanyaan/pernyataan: ya dan tidak, positif dan negatif, setuju dan tidak
setuju, benar dan salah. Skala guttman ini pada umumnya dibuat seperti cheklist
dengan interpretasi penilaian, apabila skor benar nilainya 1 dan apabila salah
nilainya 0 dan analisanya dapat dilakukan seperti skala likert (Alimul hidayat,
aziz. 2007).
2.2.
Obat Tradisional
2.2.1.
Pengertian
Obat Tradisional
Obat tradisional Indonesia
semula dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu obat tradisional atau jamu dan
fito farmaka. Perkembangan teknologi yang membantu proses produksi membuat
industri jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak. Namun,
sayang pembuatan sediaan yang lebih praktis ini belum diiringi dengan
penelitian sampai dengan uji klinik. Dengan keadaan tersebut maka obat
tradisional sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu jamu, obat
ekstrak alam, dan fitofarmaka ( Handayani dan Sharmiati, 2003).
Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional misalnya
dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman
yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada
umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang
disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara
5-10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak sampai pada pembuktian ilmiah secara
klinis, tetapi cukup dengan bukti empiric. Jamu yang telah digunakan secara
turun temurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun,
membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan
tertentu ( Handayani dan Sharmiati, 2003 ).
Jamu racikan adalah campuran obat tradisional dalam bentuk rajangan,
serbu, cairan, tape atau parem, dijual di suatu tempat tanpa penandaan atau merek
dagang ( Sampoerna, 2002 ).
Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional,
misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil dan cairan yang berisi seluruh bahan
tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional
(Handayani dan Sharmiati, 2003).
a. Pengobatan
yang menggunakan bahan alam adalah sebagaian dari hasil budaya bangsa dan perlu
dikembangkan secara, inovatif untuk dimanfaatkan bagi upaya peningkatan
kesehatan masyarakat.
b. Penggunaan
bahan alam dalam rangka pemeliharaan kesehatan dan sebagai bahan obat jarang
menimbulkan efek samping dibandingkan bahan obat yang berasal dari zat kimia
sintesis.
c. Bahan
baku obat tradisional yang berasal dari alam cukup tersedia dan tersebar luar
di negara kita.
Syarat jamu agar bisa mendapat izin edar dari Badan
POM adalah:
a) Aman
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
b) Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data
empiris.
c) Memenuhi
persyaratan mutu yang berlaku.
Obat herbal terstandar adalah obat tradisional yang disajikan dari
ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang,
maupun mineral. Untuk melaksanakan proses ini membutuhkan peralatan yang lebih
kompleks dan berharga, mahal, ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung
dengan pengetahuan atau keterampilan pembuatan ekstrak. Selain proses produksi
dengan teknologi maju, jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan pembuktian
ilmiah berupa penelitian-penelitian pra klinik seperti standar kandungan bahan
yang higienis, dan uji toksisitas akut maupun kronik ( Handayani dan Sharmiati,
2003 ).
Syarat Obat Herbal agar bisa mendapat izin edar dari
Badan POM adalah:
a) Aman
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
b) Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra
klinik.
c) Telah
dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
d) Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
e) Jenis
klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian
umumdan medium (Badan POM.RI, 2004 ).
` Fitofamaka merupakan bentuk obat
tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena
proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai
dengan uji klinik pada manusia. Oleh karena itu, dalam pembuatannya memerlukan
tenaga ahli dan biaya yang besar ditunjang dengan peralatan berteknologi modern
(Handayani dan Sharmiati, 2003).
1.
Aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan.
2.
Klaim khasiat harus dibuktikan
berdasarkan ujui klinik.
3.
Telah dilakukan standarisasi terhadap
bahan baku yang digunakan dalam
produk
jadi.
4.
Memenuhi persyaratan yang berlaku.
Bahan baku obat tradisional tersebut dapat dikembangkan di dalam negeri,
baik dengan teknologi sederhana maupun dengan teknologi canggih. Pengembangan
obat dari alam bukan masalah yang mudah dan sederhana, karena mempunyai aspek
permasalahan yang cukup luas dan kompleks. Pengembangannya harus dilakukan
secara bertahap dan sistematis dan sasaran prioritas yang jelas yaitu dengan
mendorong terbentuknya kelompok obat fitofarmaka yang kegunaannya atau manfaatnya
telah jelas dengan bahan baku baik yang berupa simplisia maupun sediaan galenik
yang telah memenuhi persyaratan mutu terjamin adanya keseragaman komponen aktif,
keamanan, dan kegunaannya (Handayani dan Sharmiati, 2003).
Setiap produsen wajib bertanggungjawab atas mutu dan keamanan barang
yang dibuat dan dipasarkannya ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang
memproduksi jamu (obat tradisional). Pada tahun 1976 telah dikeluarkan
peraturan yang menyatakan bahwa obat tradisional yang dipasarkan harus
didaftarkan. Pendaftaran tersebut perlu dilakukan agar pemerintah dapat membina
dan mengawasi obat tradisional yang beredar. Salah satu tujuan dari pengawasan
ialah melindungi konsumen dari obat tradisional yang tidak memenuhi
persyaratan.
Hal ini jelas tertera pada konsiderans
(pertimbangan) dari Per MenKes RI No.179/Men.Kes/Per/VII/76 Tentang produksi
dan distribusi obat tradisiosnal, dimana dinyatakan "bahwa untuk
melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat perlu dicegah produksi dan distribusi
obat tradisional yang dapat merugikan dan membahayakan masyarakat".
Perkataan merugikan itu perlu digaris bawahi, sebab kerugian yang timbul tidak
selamanya tampak dalam bentuk nilai uang. Ditinjau dari segi pengawasan mutu,
maka prinsip dari perlindungan konsumen ialah materi/barang yang dipasarkan itu
harus dapat dikenal jenis bahannya dan kuantitatif artinya dapat dihitung
berapa banyak bahan tersebut terdapat dalam produk yang bersangkutan.
2.3.
Masa Nifas
2.3.1.
Pengertian
Masa Nifas
Masa nifas (post perium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa ini
berlangsung selama 6-8 minggu (Saifuddin , 2002).
Asuhan selama periode nifas sangat
diperlukan karena merupakan masa kritis baik bagi ibu maupun bagi bayi yang
dilahirkannya. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi
setelah persalinan, yang mana 50% kematian ibu pada masa nifas terjadi dalam 24
jam pertama. Di samping itu, masa tersebut juga merupakan masa kritis dari
kehidupan bayi, karena dua pertiga kematian bayi terjadi dalam 4 minggu setelah
persalinan dan 60% kematian bayi baru lahir terjadi dalam waktu 7 hari setelah
lahir (Winkjosastro , 2002).
2.3.2. Tujuan Asuhan
Menjaga
kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologik. Mendeteksi masalah,
mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya.
Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi,
keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan
bayi sehat. Memberikan pelayanan keluarga berencana (Winkjosastro, 2002).
2.3.3. Program
dan Kebijakan Teknis dalam Asuhan Masa Nifas
Pada masa nifas dilakukan paling sedikit 4
kali kunjungan, hal ini dilakukan untuk menilai status ibu dan bayi baru lahir,
dan untuk mencegah mendeteksi dan menangani masalah-masalah yang terjadi.
Kunjungan pertama, dilakukan pada 6-8 jam setelah persalinan. Kunjungan ini
dilakukan dengan tujuan mencegah pendarahan masa nifas karena atonia uteri.
Mendeteksi dan merawat penyebab lain pendarahan, dan merujuk bila pendarahan
berlanjut. Memberikan konseling kepada ibu atau salah satu anggota keluarga
bagaimana mencegah pendarahan masa nifas karena atonia uteri. Pemberian ASI
awal, membantu melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir, juga menjaga
bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermia (Winkjosastro, 2002).
Kunjungan kedua, dilakukan pada 6 hari setelah persalinan. Kunjungan ini
dilakukan dengan tujuan untuk memastikan involusi uterus berjalan normal, yaitu
uterus berkontraksi dan fundus di bawah umbilikus. Menilai adanya tanda-tanda
infeksi atau perdarahan abnormal. Memastikan ibu mendapat cukup makanan, cairan
dan istirahat. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tak memperlihatkan
tanda-tanda penyulit. Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi,
tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari.
Kunjungan ketiga dilakukan pada dua minggu setelah persalinan, yang mana
kunjungan ini tujuannya sama dengan kunjungan yang kedua. Setelah kunjungan
ketiga maka dilakukanlah kunjungan pada 6 minggu setelah persalinan yang
merupakan kujungan terakhir selama masa nifas, yang mana kunjungan ini
bertujuan untuk menanyakan pada ibu tentang penyulit-penyulit yang ia atau bayi
alami, juga memberikan konseling untuk mendapatkan pelayanan KB secara dini
(Saifuddin, 2002).
2.3.4. Perubahan- Perubahan Fisiologis
yang Terjadi Selama Nifas
Dalam masa nifas alat-alat genitalia interna maupun eksterna akan
berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil.
Perubahan-perubahan alat-alat genitalia ini dalam keseluruhannya disebut involusi.
Disamping involusi ini, terjadi juga perubahan penting lain, seperti timbulnya
laktasi yang dipengaruhi oleh Lactogenic Hormone dari kelenjar hipofisis
terhadap kelenjar-kelenjar mamma (Saifuddin, 2002).
Setelah janin dilahirkan fundus uteri kira-kira setinggi pusat; segera
setelah plasenta lahir, tinggi fundus uteri kurang lebih 2 jari di bawah pusat.
Uterus menyerupai suatu buah advokat gepeng berukuran panjang kurang lebih 15
cm, lebar kurang lebih 12 cm dan tebal kurang lebih 10 cm. Dinding uterus
sendiri kurang lebih 5 cm, sedangkan pada bekas implantasi plasenta lebih tipis
daripada bagian lain. Pada hari ke-5 postpartum uterus kurang lebih setinggi 7
cm di atas simfisis atau setengah simfisis pusat, sesudah 12 hari uterus tidak
dapat diraba lagi di atas simfisis. Bagian bekas implantasi plasenta merupakan
suatu luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri, setelah persalinan.
Penojolan tersebut, dengan diameter kurang lebih 7,5 cm, sering disangka
sebagai suatu bagian plasenta yang tertinggal. Sesudah 2 minggu diameternya
menjadi 3,5 cm dan pada 6 minggu telah mencapai 2,4 mm (Saifuddin, 2002).
Uterus gravidus a term beratnya kira-kira 1000 gram. Satu minggu
postpartum berat uterus akan menjadi kurang lebih 500 gram, 2 minggu postpartum
menjadi 300 gram, dan setelah 6 minggu postpartum, berat uterus menjadi 40
sampai 60 gram(berat uterus normal kurang lebih 30 gram). Otot-otot uterus
berkontraksi segera postpartum. Pembuluh-pembuluh darah yang berada di antara
anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan
setelah plasenta dilahirkan (Saifuddi, 2002).
Perubahan-perubahan yang terdapat pada serviks ialah segera postpartum
bentuk serviks agak menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan oleh korpus
uteri yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi,
sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korpus dan serviks uteri terbentuk
semacam cincin. Warna serviks sendiri merah kehitam-hitaman karena penuh
pembuluh darah. Konsistensinya lunak. Segera setelah janin dilahirkan, tangan
pemeriksa masih dapat dimasukkan ke dalam kavum uteri. Setelah dua jam hanya
dapat dimasukkan 2-3 jari, dan setelah 1 minggu, hanya dapat dimasukkan 1 jari
ke dalam kavum uteri (Saifuddin, 2002).
Perubahan-perubahan yang terdapat pada endometrium ialah terjadi
degenerasi, dan nekrosis di tempat implantasi plasenta. Pada hari pertama
endometrium yang kira-kira setebal 2-5 mm itu mempunyai permukaan yang kasar
akibat pelepasan desidua dan selaput janin. Setelah 3 hari, permukaan
endometrium mulai rata akibat lepasnya sel-sel dari bagian yang mengalami
degenerasi. Sebagian besar endometrium terlepas. Regenerasi endometrium terjadi
dari sisa-sisa sel desidua basalis, yang memakan waktu 2 sampai 3 minggu. Jaringan-jaringan
di tempat implantasi plasenta mengalami proses yang sama, ialah degenerasi dan
kemudian terlepas. Pelepasan jaringan berdegenerasi ini berlangsung lengkap.
Dengan demikian, tidak ada pembentukan jaringan parut pada bekas tempat
implantasi plasenta (Winkjosastro, 2002).
Ligamen-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang meregang sewaktu
kehamilan dan partus, setelah janin lahir, berangsur-angsur ciut kembali
seperti sediakala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan
uterus jatuh ke belakang. Tidak jarang pula wanita mengeluh “kandungannya
turun” setelah melahirkan oleh karena ligament, fasia, jaringan penunjang alat
genitalia menjadi agak kendor. Luka-luka jalan lahir, seperti bekas episiotomi
yang telah dijahit, luka pada vagina dan serviks bila tidak seberapa luas akan
mudah sembuh, kecuali bila terdapat infeksi (Winkjosastro, 2002).
Sejak kehamilan muda, sudah terdapat
persiapan-persiapan pada kelenjar-kelenjar mamma untuk menghadapi masa laktasi.
Perubahan yang terdapat pada kedua mamma antara lain:
1) proliferasi
jaringan, terutama kelenjar-kelenjar dan alveolus mamma dan lemak.
2) pada duktus laktiferus terdapat cairan yang
kadang-kadang dapat dikeluarkan, cairan tersebut berwarna kuning (kolostrum).
3) hipervaskularisasi terdapat pada permukaan
maupun pada bagian dalam mamma. Pembuluh-pembuluh vena berdilatasi dan tampak
dengan jelas.
4) setelah
partus, pengaruh menekan dari estrogen dan progesteron terhadap hipofisis
hilang. Timbul pengaruh hormon-hormon hipofisis kembali, antara lain lactogenic
hormone (prolaktin) yang akan dihasilkan pula. Mamma yang telah dipersiapkan
pada masa hamil terpengaruhi, dengan akibat kelenjar-kelenjar berisi air susu.
Pengaruh oksitosin mengakibatkan mioepitelium kelenjar-kelenjar susu
berkontraksi, sehingga pengeluaran air susu dilaksanakan. Umumnya produksi air
susu baru berlangsung betul pada hari ke-2 sampai ke-3 postpartum (Rachimhadhi,
2002).
Suhu badan wanita inpartu tidak lebih dari 37,20 Celcius. Sesudah 12 jam
pertama melahirkan, umumnya suhu badan akan kembali normal. Bila suhu badan
lebih dari 38,00 Celcius, mungkin ada infeksi. Nadi umumnya berkisar antara
60-80 denyutan per menit. Segera setelah partus dapat terjadi bradikardia. Pada
masa nifas umumnya denyut nadi lebih labil dibandingkan dengan suhu badan
(Winkjosastro, 2002).
Pada sistem pernafasan, fungsi
pernapasan kembali pada rentang normal dalam jam pertama pascapartum. Napas
Pendek, cepat, atau perubahan lain memerlukan evaluasi adanya kondisi-kondisi
abnormal (Varney, 2003).
Lokhea adalah sekret yang keluar dari
kavum uteri dan vagina pada masa nifas. Pada hari pertama dan kedua lokhea
rubra atau kruenta, terdiri atas darah segar bercampur sisa-sisa selaput
ketuban, sel-sel desidua, sisa-sisa verniks kaseosa, lanugo, dan mekonium. Pada
hari ke-3 sampai ke-7 keluar cairan berwarna merah kuning berisi darah dan
lendir. Pada hari ke-7 sampai ke-14 cairan yang keluar berwarna kuning, cairan
ini tidak berdarah lagi, setelah 2 minggu, lokhea hanya merupakan cairan putih
yang disebut dengan lokhea alba (Winkjosastro, 2002).
2.3.5.
Perawatan
-perawatan pada Masa Nifas
Umumnya wanita sangat lelah setelah
melahirkan. Karenanya, ia harus cukup dalam pemenuhan istirahatnya. Dari hal
tersebut ibu harus dianjurkan untuk tidur terlentang selama 8 jam pasca
persalinan. Kemudian boleh miring-miring ke kanan dan ke kiri, untuk mencegah
adanya thrombosis. Pada hari ke-2 barulah ibu diperbolehkan duduk, hari ke-3
jalan-jalan, dan hari ke-4 atau ke-5 sudah diperbolehkan pulang (Winkjosastro,
2002 ).
Diet
yang diberikan harus bermutu tinggi dengan cukup kalori, mengandung cukup
protein, cairan, serta banyak sayur-sayuran dan buah-buahan (Winkjosastro ,
2002).
Miksi atau berkemih harus secepatnya dapat dilakukan sendiri.
Kadang-kadang wanita mengalami sulit kencing karena sfingter uretra tertekan
oleh kepala janin, sehingga fungsinya terganggu. Bila kandung kemih penuh dan
wanita tersebut tidak dapat berkemih sendiri, sebaiknya dilakukan kateterisasi
dengan memperhatikan jangan sampai terjadi infeksi (Winkjosastro, 2002).
Defekasi atau buang air besar harus ada dalam 3 hari postpartum. Bila
ada obstipasi hingga skibala tertimbun di rectum, dapat dilakukan klisma atau
diberikan laksans per oral atau per rectal. Namun dengan diadakannya mobilisasi
secara dini, tidak jarang retensio urin et alvi dapat diatasi. Di sini dapat
ditekankan bahwa wanita baru bersalin memerlukan istirahat dalam jam-jam
pertama postpartum, akan tetapi jika persalinan ibu serba normal tanpa
kelainan, maka wanita yang baru bersalin itu bukan seorang penderita dan
hendaknya jangan dirawat seperti seorang penderita. (Winkjosastro, 2002).
Bila
wanita itu sangat mengeluh tentang adanya after paints atau mules, dapat diberi
analgetik atau sedatif supaya ia dapat beristirahat atau tidur. Delapan jam
postpartum wanita tersebut disuruh mencoba menyusui bayinya untuk merangsang
timbulnya laktasi. Kecuali bila ada kontraindikasi untuk menyusui bayinya,
seperti wanita yang menderita tifus abdominalis, tuberculosis aktif, diabetes
mellitus berat, psikosis, putting susunya tertarik ke dalam dan lain-lain. Bayi
dengan labio palato skiziz (sumbing) tidak dapat menyusu oleh karena tidak
dapat menghisap. Hendaknya hal ini diketahui oleh bidan atau dokter yang
menolongnya. Minumannya harus diberikan melalui sonde. Begitu pula dengan bayi
yang dilahirkan dengan alat seperti ekstraksi vakum atau cunam dianjurkan untuk
tidak menyusu sebelum benar-benar diketahui tidak ada trauma kapitis. Pada hari
ketiga atau keempat bayi tersebut baru diperbolehkan untuk menyusu bila tidak
ada kontraindikasi. (Winkjosastro, 2002).
Perawatan mamma harus sudah dilakukan sejak kehamilan, areola mamma dan
puting susu dicuci teratur dengan sabun dan diberi minyak atau cream , agar
tetap lemas, jangan sampai kelak mudah lecet dan pecah-pecah. Sebelum menyusui
mamma harus dibikin lemas dengan melakukan massage secara menyeluruh. Setelah
areola mamma dan putting susu dibersihkan, barulah bayi disusui (Winkjosastro,
2002 ).
Bayi yang meninggal, laktasi
harus dihentikan dengan cara mengadakan pembalutan kedua mamma hingga tertekan,
dan dapat pula diberikan Bromocryptin sehingga pengeluaran lactogenic hormone
tertekan (Winkjosastro , 2002 ).
Pengunjung atau tamu sehat boleh
mengunjungi wanita postpartum. Hendaknya para pengunjung harus dalam keadaan
sehat dan bersih untuk mencegah kemungkinan terjadinya penularan penyakit oleh
karena wanita dalam masa nifas mudah sekali terkena infeksi. Pemakaian gurita
yang tepat masih dibenarkan pada wanita postpartum. Ketika dipulangkan, diberi
penjelasan dan motivasi tentang cara menjaga bayi, memberi susu dan makanan
bayi, keluarga berencana, hidup dan makanan sehat, dan dipesan untuk memeriksakan
diri lagi (Winkjosastro, 2002).
2.4. Konsep Budaya dalam Perawatan
Postpartum
2.4.1. Konsep
Budaya
Kebudayaan merupakan wawasan
pegangan yang diambil dari pemahaman makna realitas yang dikembangkan menjadi
pijakan sikap tingkah laku dalam menghadapi hidup dalam realitas itu, maka
kebudayaan dilihat dari potensi-potensi (kemampuan-kemampuan) kreatif manusia
(Mudji Sutrisno, 2006).
Budaya berkenaan dengan cara
manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan
apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan,
praktik komunikasi, tindakan-tindakan social, kegiatan-kegiatan ekonomi dan
politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya (Mulyana, 2002).
Manusia melengkapi dirinya dengan kebudayaan, yaitu perangkat pengendali
berupa rencana, aturan, resep, dan instruksi yang digunakan untuk mengatur
terwujudnya tingkahlaku dan tindakan tertentu (Geertz, 1973). Dalam pengertian
ini, kebudayaan berfungsi sebagai “alat” yang paling efektif dan efisien dalam
menghadapi lingkungan (Mudji sutrisno, 2006).
Kebudayaan bukan sesuatu yang dibawa
bersama kelahiran, melainkan diperoleh dari proses belajar dari lingkungan,
baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Dengan kata lain, hubungan
antara manusia dengan lingkungannya dijembatani oleh kebudayaan yang
dimilikinya. Dilihat dari segi ini, kebudayaan dapat dikatakan bersifat adaptif
karena melengkapi manusia dengan cara-cara menyesuaikan diri pada kebutuhan
fisiologis dari diri mereka sendiri, penyesuaian pada lingkungan yang bersifat
fisik geografis maupun lingkungan sosialnya. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan
bertahan malah berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang
dikembangkan oleh suatu masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
tertentu dari lingkungannya. Kebiasaan atau kelakuan yang terpolakan yang ada
dalam masyarakat tertentu merupakan penyesuaian masyarakat terhadap
lingkungannya, tetapi cara penyesuaian itu bukan berarti mewakili semua cara
penyesuaian yang mungkin diadakan oleh masyarakat lain dalam kondisi yang sama.
Dengan kata lain, masyarakat manusia yang berlainan mungkin akan memilih
cara-cara penyesuaian yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Kondisi seperti
itulah yang menyebabkan timbulnya keaneka ragaman budaya (Mudji Sutrisno,
2006).
2.4.2. Konsep Budaya tentang Perawatan
Masa Nifas
Terbentuknya janin dan kelahiran
bayi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam kelangsungan kehidupan manusia,
namun berbagai kelompok masyarakat dengan kebudayaannya di seluruh dunia
memiliki aneka persepsi, interpretasi dan respon perilaku dalam menghadapinya,
dengan berbagai implikasinya terhadap kesehatan (Mudji Sutrisno, 2006).
Menurut pendekatan biososiokultural
persalinan, kehamilan dan kelahiran bukan hanya dilihat semata-mata dari aspek
biologis dan fisiologisnya saja. Lebih dari itu, fenomena ini juga harus
dilihat sebagai suatu proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal,
seperti pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran,
para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung
, cara-cara pencegahan bahaya, penggunaan ramu-ramuan atau obat-obatan dalam
proses kelahiran, cara-cara menolong persalinan, dan pusat kekuatan dalam
perawatan bayi dan ibunya (Mudji Sutrisno, 2006).
Berbagai kelompok masyarakat di berbagai
tempat yang menitik beratkan perhatian mereka terhadap aspek kultural dari
kelahiran menganggap peristiwa tersebut sebagai tahapan kehidupan yang harus
dijalani di dunia. Pada saat lahirnya, bayi dianggap berpindah dari kandungan
ibu ke dunia untuk menjalankan kehidupan baru sebagai manusia. Begitu pula sang
ibu mulai memasuki tahapan baru dalam kehidupannya sebagai orangtua, untuk
menjalankan peran baru sebagai seorang ibu (Mudji Sutrisno, 2006).
Dalam memahami sikap dan perilaku
menanggapi kehamilan, kelahiran serta perawatan ibu dan bayinya, faktor-faktor
sosial budaya sangat mempunyai peranan penting. Sebagian pandangan budaya
mengenai hal-hal tersebut telah diwariskan turun-temurun dalam kebudayaan
masyarakat yang bersangkutan (Mudji Sutrisno, 2006).
Pada masyarakat di Bandanaera,
Kabupaten Maluku Tengah, perawatan postpartum dilakukan salah salah satunya
dengan segera memberi minuman pada wanita yang baru melahirkan, yang minuman
tersebut terdiri dari campuran jeruk asam (jeruk nipis), halia (jahe) yang
diparut, gula merah dan lada, yang kesemuanya dimasak hingga menjadi cairan
kental. Kemudian setelah kurang lebih 3 jam pasca persalinan ibu nifas diberi
makan rujak, dengan tujuan agar darah nifasnya keluar, dan dinding peranakan
menjadi bersih dari gumpalan darah, yang disebut kotor banta. Bila ketika
melahirkan terjadi “sobekan”, keadaan ini dipulihkan dengan pasir panas yang
dibungkus daun, kemudian dibungkus lagi dengan kain, untuk ditekan-tekankan
kebagian jalan lahir yang sobek selama 9 hari, pada pagi dan sore hari. Bahan
yang sama juga ditepuk-tepuk ke seluruh tubuh wanita yang baru bersalin. Pada
masyarakat Maluku Tengah wanita postpartum juga diurut, diuapi, diberi minuman
berupa jamu-jamuan, dan aneka perlakuan lainnya yang bertujuan untuk
kesejahteraan ibu dan bayinya (Mudji Sutrisno, 2006).
Pada masyarakat Bajo di Saloso,
Kabupaten Kendari, untuk keselamatan perempuan nifas dan bayinya dilakukan
upacara adat salussu. Upacara salussu ini dilaksanakan dengan menyediakan daun
pisang panjang sebanyak dua lembar, yang masing-masing diisi dengan ketan putih
dan hitam, tumpi-tumpi, yakni sejenis ikan yang ditumbuk kemudian dibentuk
bulat kecil sebanyak 40 buah. Seperti halnya dengan upacara adat lainnya,
kemenyan, kelapa, dan bedak kuning senantiasa disajikan sebagai pelengkap
upacara. (Mudji Sutrisno, 2006).
Dalam upacara ini ditambahkan pula
dua buah cincin emas. Apabila bayi yang lahir laki-laki, sajian ditambah lagi
dengan dua ekor ayam jantan, sedangkan jika bayi seorang perempuan, disediakan
dua ekor ayam betina. Hidangan yang dibuat dalam dua bagian tersebut dibagi
dua, sebuah diberikan kepada sandro (dukun yang bertugas sebagai pemimpin
acara), sedangkan yang lainnya ditujukan bagi keluarga sang bayi (Mudji
Sutrisno, 2006).
Perawatan nifas menurut budaya
masyarakat Aceh. Seperti, pantangan untuk meninggalkan rumah selama 44 wanita
yang baru melahirkan. Selama masa nifas perempuan pada masyarakat Aceh disuruh
berbaring pada suatu pembaringan yang ditinggikan yang dasarnya diberi batu
bata panas. Kakinya terlentang dan dirapatkan. Lengannya tidak boleh diangkat
di atas kepala. Ibunya menjaganya, seraya mengawasi supaya perempuan nifas
tersebut tetap mengikuti petunjuk mengenai posisi kaki dan cara berbaring
sekali-sekali harus dirubah supaya seluruh badan wanita dihangatkan.
Penghangatan badan dimulai pada hari sesudah melahirkan dan berlangsung
sekurang-kurangnya 20 hari dan paling lama 44 hari. Ibu yang baru melahirkan
mandinya dibatasi agar berkeringat, karena bila ibu postpartum berkeringat
dianggap baik untuk proses pengeringan luka-luka jalan lahir (Swasono, 2002).
Selain penghangatan badan, selama
minggu pertama ibu postpartum juga diurut oleh dukun beranak dengan menggunakan
minyak kelapa. Dalam minggu pertama ini, wanita yang baru bersalin bebas makan
dan minum apa saja yang diinginkannya. Tetapi sesudah hari ketujuh, waktu dia
diberi minuman yang diramu dari jenis daun-daunan tertentu, dia pantang makan
dan minum beberapa jenis bahan makanan yang paling biasa dikonsumsi masyarakat
Aceh, pantangan makan tersebut berlangsung selama 5 bulan atau lebih. Makanan
yang dilarang itu misalnya adalah ketan, daging kerbau, telur bebek, daging
bebek dan semua jenis buah-buahan (Mudji Sutrisno, 2006).
Dengan berbagai
variasi kultur atau budaya di atas, umumnya sering berhubungan dengan faktor
sosial ekonomi dan pendidikan. Oleh karena itu, meskipun petugas kesehatan
mungkin menemukan suatu bentuk perilaku atau sikap yang terbukti kurang
menguntungkan bagi kesehatan, seringkali tidak mudah bagi mereka untuk
mengadakan perubahan terhadapnya. Hal tersebut diakibatkan oleh telah
tertanamnya keyakinan yang melandasi sikap dan perilaku itu secara mendalam
pada kebudayaan warga suatu komuniti (Swasono, 2002).
2.4.3. Fenomenologi
Fenomenologi
berakar pada filsafat tradisional yang dikembangkan oleh Husserl dan Heidegger
yang mana pemikirannya bersumber dari pengalaman hidup manusia. Fenomenologi
adalah suatu penelitian tentang gejala dalam situasi yang alami dan kompleks,
yang hanya mungkin menjadi bagian dari alam kesadaran manusia-sekomprehensif
apapun-ketika telah direduksi ke dalam suatu parameter yang terdefenisikan
sebagai fakta, dan yang demikian terwujud sebagai realitas (Wignjosoebroto,
2001 dalam Bungin, 2006).
Fenomenologi sering digunakan sebagai anggapan
umum untuk menunjukkan pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe
subjektif yang ditemui. Fenomenologi juga digunakan sebagai pendekatan dalam
metodelogi kualitatif. Fenomenologi merupakan pandangan berfikir yang
menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan
interpretasi–interpretasi dunia (Moleong, 2007).
Teori fenomenologi terutama membagi
tentang isu-isu bahasa, sejauh mana diberikan kepada peranan dalam membentuk
pengalaman. Peneliti dalam pandangan fenomenologi berusaha memahami arti
peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berasal dalam situasi-situasi
tertentu. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu
bagi orang-orang yang sedang diteliti mereka (Moleong 2007).
Penelitian
sosial yang menggunakan pendekatan kualitatif diuraikan oleh Hutomo (1992), (Moleong,
2007), merupakan penelitian sosial yang sumber datanya bersifat ilmiah, artinya
peneliti harus berusaha memahami fenomena sosial secara langsung dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat. Peneliti sendiri adalah merupakan instrumen
penelitian yang paling penting dalam pengumpulan data dan penginterpretasian
data. Penelitian kualitatif bersifat memberikan deskripsi artinya mencatat
segala gejala (fenomena) yang dilihat dan didengar. Data dan informan harus
berasal dari tangan pertama. Dan kebenaran data harus dicek dengan data lain,
misalnya wawancara atau observasi mendalam.
2.5.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Prilaku Ibu Nifas Tentang Penggunaan Obat Tradisional
2.5.1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tau dan
ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.
Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni: indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagai besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Natoatmojo, 2008).
Pengetahuan adalah berbagai gejala
yang ditemuai dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul
ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian
tertentu yang belum pernah dilihat atau di katakana sebelumnya (http://id.m.
Wikipedia.Org/wiki/pengetahuan di akses 2014).
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Roger 1974 (Natoatmojo, 2007) diketahui bahwa pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (Over Behaviour).
Berdasarkan penelitian tersebut
diketahui bahwa prilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari
pada prilaku yang tidak di dasari oleh pengetahuan, sebelum mengadopsi prilaku
baru di dalam diri orang tersebut akan terjadi proses yang berurutan, yaitu:
1. Awareness
(kesadaran)
dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu stimulus
(objek).
2. Interes
(merasa
tertarik) terhadap stimulasi atau objek tersebut, di sini sikap subjek sudah
mulai timbul.
3. Evalution
(menimbang-nimbang)
terhadap baik atau tidaknya stimulus terhadap bagi dirinya. Hal ini berarti
sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial,
subjek
mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
stimulus.
5. Adaptasi,
subjek
telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap
stimulus.
Apabila penerima prilaku baru atau
adopsi prilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari pengetahuan,
kesadaran dan sikap yang positif, maka prilaku tersebut akan bersifat langgeng.
Sebaliknya bila prilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka
prilaku tersebut tidak akan lama.
Natoadmojo 2007 juga menjelaskan
pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu:
1) Tahu
(Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang
telah dipelajari sebelumnya. Termasuk keadaan pengetahuan mengingat kembali
terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima.
2) Memahami
(Comprehention)
Memahami diartikan sebagai sesuatu kemampuan
menjelaskan secara benar terhadap objek yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi
(Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi kondisi ril sebenarnya.
4) Analisis
(Analysis)
Menunjukkan kepada sesuatu kemampuan untuk
menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam
struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lainnya.
5) Sintesis
(Systesis)
Sisntesis
menunjukkan kepada suatu
kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu
bentuk keseluruhannya yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan
untuk menyusun formulis baru dari formasi-formasi yang ada.
6) Evaluasi
(Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek.
Penelitian-penelitian itu berdasarkan suatu kriteria yang diketahui sendiri
atau menggunakan kriteria-kriteria yang ditentukan sendiri menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.
Pentingnya
pengetahuan ibu tentang kesehatan anak merupakan salah satu faktor yang
mendukung ibu-ibu yang mempunyai balita dalam pemberian ASI eklusif sehingga
ibu-ibu tidak memberikan makanan tambahan terlalu dini. Semakin tinggi ilmu
pengetahuan, maka wawasan yang didapatkan akan semakin luas (Sarwono, 2009).
Cara pengukuran pengetahuan dibagi
atas 3 katagori diantaranya sebagai berikut : (Arikunto, 2010)
1) Baik : Jika responden menjawab
benar 76% - 100%
2) Cukup : Jika responden menjawab benar
56% - 75%
3) Kurang : Jika responden menjawab benar ≤
55%
2.5.2. Budaya
Pengertian Budaya atau culture dalam bahasa Inggris adalah, berasal dari
bahasa Yunani culere yang berarti mengerjakan tanah. Dalam bahasa Indonesia,
kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta ’buddhayah’, yaitu bentuk jamak
dari buddhi (budi atau akal), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil
pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata budaya
merupakan perkembangan dari kata majemuk ’budi-daya’ yang berarti daya dari
budi, yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa. Budi adalah akal yang merupakan
unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil
dari akal dan ikhtisar manusia (Widyosiswoyo, 2004).
2.5.2.1.
Cakupan
Budaya
Kebudayaan yang diartikan sebagai totalitas pikiran,
tindakan dan karya manusia tersebut mempunyai tiga wujud (Koentjoroningrat,
1987 dalam Ibrahim, 2003). Pertama, kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai, norma-norma, peraturan, yag bersifat abstrak yang hanya dapat
dirasakan, tetapi tidak dapat dilihat dan diraba. Widyosiswoyo (2004)
mengatakan gagasan-gagasan yang ada di masyarakat saling terkait antara satu
dengan yang lainnya, sehingga membentuk suatu sistem budaya atau culture
system, contohnya adalah adat istiadat dan ilmu pengetahuan.
Wujud kedua adalah suatu kompleks aktivitas, tingkah
laku berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus dari manusia dalam
masyarakat yang mempunyai sifat dapat dirasakan dan dilihat tetapi tidak dapat
diraba. Widyosiswoyo (2004) mengatakan wujud ini sebagai Sistem Sosial atau
social system, contohnya adalah gotong royong dan kerja sama.
Wujud
ketiga adalah kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia yang bersifat
dapat dilihat, dirasa, dan diraba. Wujud ini paling konkrit yang disebut
kebudayaan fisik atau material (material culture), contohnya adalah Candi
borobudur, rumah adat sampai kepada pesawat terbang, pesawat ruang angkasa.
Dalam
Hal ini untuk menjadi tolak ukur Budaya berdasarkan dari pemahaman teori diatas
adalah sebagai berikut :
1.
Ya : Jika Responden
Menggunakan Obat Tradisional.
2.
Tidak : Jika Responden Tidak
Menggunakan Obat Tradisional.
2.5.3. Kepercayaan
Kepercayaan
merupakan suatu hal yang penting bagi sebuah komitmen atau perjanjian, dan komitmen
hanya dapat direalisasikan jika suatu saat berarti. Kepercayaan ada jika para
pelanggan percaya bahwa penyedia layanan jasa tersebut dapat dipercaya dan juga
mempunyai derajat integritas yang tinggi. (Karsono, 2006)
Kepercayaan konsumen adalah semua
pengetahuan yang dimiliki konsumen dan
semua kesimpulan yang dibuat konsumen
tentang objek, atribut dan manfaatnya. (Sunarto, 2006)
Keyakinan atau kepercayaan adalah
suatu faktor penting yang dapat mengatasi krisis dan kesulitan antara rekan
bisnis selain itu juga merupakan aset penting dalam mengembangkan hubungan
jangka panjang antar organisasi. Suatu organisasi harus mampu mengenali
faktor-faktor yang dapat membentuk kepercayaan tersebut agar dapat menciptakan,
mengatur, memelihara, menyokong dan mempertinggi tingkat hubungan dengan
pelanggan (Karsono, 2008). Dalam konteks
Relationship Marketing, kepercayaan merupakan salah satu dimensi dari
Relationship Marketing untuk menentukan sejauhmana apa yang dirasakan suatu
pihak integritas dan janji yang ditawarkan pihak lain.
Kotler, (1998) menyatakan Hubungan
Pemasaran (Relationship Marketing)
adalah proses menciptakan, mempertahankan dan meningkatkan hubungan yang kuat,
bernilai tinggi dengan pelanggan dan pihak yang berkepentingan lain. Hubungan
pemasaran berarti bahwa pelanggan atau organisasi harus memfokuskan pada
mengelola pelanggan di samping produk. Relationship Marketing sendiri mendorong
para marketer untuk selalu berpikir dalam frame work jangka panjang.
Kepercayaan dapat diartikan dengan
kepercayaan (belief) atau keyakinan (conviction) suatu pihak terhadap pihak
lain atau terhadap suatu hubungan (relationship). (Yuniningsih, 2007).
Menurut Sunarto ( 2006 ), berdasarkan
teori yang dikemukan bahwa yang menjadi tolak ukur Kepercayaan adalah:
1. Ya : Apabila Responden Percaya dan
Menggunakan Obat Tradisional
2. Tidak : Apabila
Responden Tidak percaya dan tidak menggunakan obat tradisional.
2.6.
Kerangka Teoritis
Notoatmodjo (2003)
-
Budaya
-
Pengetahuan
-
Kepercayaan
|
Perilaku
|
Widyosiswoyo, (2004)
Budaya
|
Skema
2.1. Kerangka Teoritis
0 comments:
Post a Comment