Tuesday 2 August 2016

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.      Perilaku
2.1.1.  Pengertian Perilaku
   Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
   Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :
1.      Perilaku tertutup (convert behavior)
Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
2.      Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
2.1.1.  Domain Perilaku
  Menurut Bloom, seperti dikutip Notoatmodjo (2003), membagi perilaku itu di dalam tiga domain (ranah/kawasan), yang terdiri dari ranah pengetahuan (knowlegde), ranah sikap (attitude), dan ranah tindakan (practice).
1.      Pengetahuan (Knowlegde)
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tanpa pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung atau orang lain yang sampai kepada seseorang (Notoatmodjo, 2003)
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang :
a.       Faktor Internal : faktor dari dalam diri sendiri, misalnya intelegensia, minat, kondisi fisik.
b.      Faktor Eksternal : faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat, sarana.
c.       Faktor pendekatan belajar : faktor upaya belajar, misalnya strategi dan metode dalam pembelajaran.
   Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Pengetahuan dapat diperoleh melalui proses belajar yang didapat dari pendidikan (Notoatmodjo, 2003).
2.      Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari orang yang dekat dengan kita. Mereka dapat mengakrabkan kita dengan sesuatu, atau menyebabkan kita menolaknya (Wahid, 2007).
Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok :
a)      Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.
b)       Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c)      Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut :
a.       Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus.
b.      Adanya orang lain yang menjadi acuan (Personal reference) merupakan faktor penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan-pertimbangan individu.
c.       Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan dari pada individu tersebut.
d.       Sosial budaya (Culture), berperan besar dalam mempengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek/stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007).
Teknik skala yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku adalah dengan menggunakan teknik skala Guttman. Skala ini merupakan skala yang bersifat tegas dan konsisten dengan memberikan jawaban yang tegas seperti jawaban dari pertanyaan/pernyataan: ya dan tidak, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju, benar dan salah. Skala guttman ini pada umumnya dibuat seperti cheklist dengan interpretasi penilaian, apabila skor benar nilainya 1 dan apabila salah nilainya 0 dan analisanya dapat dilakukan seperti skala likert (Alimul hidayat, aziz. 2007).
2.2. Obat Tradisional
2.2.1.      Pengertian Obat Tradisional
  Obat tradisional Indonesia semula dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu obat tradisional atau jamu dan fito farmaka. Perkembangan teknologi yang membantu proses produksi membuat industri jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak. Namun, sayang pembuatan sediaan yang lebih praktis ini belum diiringi dengan penelitian sampai dengan uji klinik. Dengan keadaan tersebut maka obat tradisional sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu jamu, obat ekstrak alam, dan fitofarmaka ( Handayani dan Sharmiati, 2003).
   Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5-10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak sampai pada pembuktian ilmiah secara klinis, tetapi cukup dengan bukti empiric. Jamu yang telah digunakan secara turun temurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu ( Handayani dan Sharmiati, 2003 ).
   Jamu racikan adalah campuran obat tradisional dalam bentuk rajangan, serbu, cairan, tape atau parem, dijual di suatu tempat tanpa penandaan atau merek dagang ( Sampoerna, 2002 ).
  Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional (Handayani dan Sharmiati, 2003).
a.       Pengobatan yang menggunakan bahan alam adalah sebagaian dari hasil budaya bangsa dan perlu dikembangkan secara, inovatif untuk dimanfaatkan bagi upaya peningkatan kesehatan masyarakat.
b.      Penggunaan bahan alam dalam rangka pemeliharaan kesehatan dan sebagai bahan obat jarang menimbulkan efek samping dibandingkan bahan obat yang berasal dari zat kimia sintesis.
c.       Bahan baku obat tradisional yang berasal dari alam cukup tersedia dan tersebar luar di negara kita.
Syarat jamu agar bisa mendapat izin edar dari Badan POM adalah:
a)      Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
b)       Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.
c)      Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
  Obat herbal terstandar adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Untuk melaksanakan proses ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga, mahal, ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan atau keterampilan pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan teknologi maju, jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pra klinik seperti standar kandungan bahan yang higienis, dan uji toksisitas akut maupun kronik ( Handayani dan Sharmiati, 2003 ).
Syarat Obat Herbal agar bisa mendapat izin edar dari Badan POM adalah:
a)      Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
b)       Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik.
c)      Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
d)      Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
e)      Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umumdan medium (Badan POM.RI, 2004 ).
` Fitofamaka merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Oleh karena itu, dalam pembuatannya memerlukan tenaga ahli dan biaya yang besar ditunjang dengan peralatan berteknologi modern (Handayani dan Sharmiati, 2003).
1.      Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
2.      Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan ujui klinik.
3.      Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam     
produk jadi.
4.      Memenuhi persyaratan yang berlaku.
  Bahan baku obat tradisional tersebut dapat dikembangkan di dalam negeri, baik dengan teknologi sederhana maupun dengan teknologi canggih. Pengembangan obat dari alam bukan masalah yang mudah dan sederhana, karena mempunyai aspek permasalahan yang cukup luas dan kompleks. Pengembangannya harus dilakukan secara bertahap dan sistematis dan sasaran prioritas yang jelas yaitu dengan mendorong terbentuknya kelompok obat fitofarmaka yang kegunaannya atau manfaatnya telah jelas dengan bahan baku baik yang berupa simplisia maupun sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan mutu terjamin adanya keseragaman komponen aktif, keamanan, dan kegunaannya (Handayani dan Sharmiati, 2003).
  Setiap produsen wajib bertanggungjawab atas mutu dan keamanan barang yang dibuat dan dipasarkannya ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang memproduksi jamu (obat tradisional). Pada tahun 1976 telah dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa obat tradisional yang dipasarkan harus didaftarkan. Pendaftaran tersebut perlu dilakukan agar pemerintah dapat membina dan mengawasi obat tradisional yang beredar. Salah satu tujuan dari pengawasan ialah melindungi konsumen dari obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan.
Hal ini jelas tertera pada konsiderans (pertimbangan) dari Per MenKes RI No.179/Men.Kes/Per/VII/76 Tentang produksi dan distribusi obat tradisiosnal, dimana dinyatakan "bahwa untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat perlu dicegah produksi dan distribusi obat tradisional yang dapat merugikan dan membahayakan masyarakat". Perkataan merugikan itu perlu digaris bawahi, sebab kerugian yang timbul tidak selamanya tampak dalam bentuk nilai uang. Ditinjau dari segi pengawasan mutu, maka prinsip dari perlindungan konsumen ialah materi/barang yang dipasarkan itu harus dapat dikenal jenis bahannya dan kuantitatif artinya dapat dihitung berapa banyak bahan tersebut terdapat dalam produk yang bersangkutan.

2.3.  Masa Nifas
2.3.1.  Pengertian Masa Nifas
  Masa nifas (post perium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa ini berlangsung selama 6-8 minggu (Saifuddin , 2002).
Asuhan selama periode nifas sangat diperlukan karena merupakan masa kritis baik bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkannya. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, yang mana 50% kematian ibu pada masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Di samping itu, masa tersebut juga merupakan masa kritis dari kehidupan bayi, karena dua pertiga kematian bayi terjadi dalam 4 minggu setelah persalinan dan 60% kematian bayi baru lahir terjadi dalam waktu 7 hari setelah lahir (Winkjosastro , 2002).
2.3.2.  Tujuan Asuhan
Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologik. Mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan bayi sehat. Memberikan pelayanan keluarga berencana (Winkjosastro, 2002).
2.3.3.   Program dan Kebijakan Teknis dalam Asuhan Masa Nifas
     Pada masa nifas dilakukan paling sedikit 4 kali kunjungan, hal ini dilakukan untuk menilai status ibu dan bayi baru lahir, dan untuk mencegah mendeteksi dan menangani masalah-masalah yang terjadi. Kunjungan pertama, dilakukan pada 6-8 jam setelah persalinan. Kunjungan ini dilakukan dengan tujuan mencegah pendarahan masa nifas karena atonia uteri. Mendeteksi dan merawat penyebab lain pendarahan, dan merujuk bila pendarahan berlanjut. Memberikan konseling kepada ibu atau salah satu anggota keluarga bagaimana mencegah pendarahan masa nifas karena atonia uteri. Pemberian ASI awal, membantu melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir, juga menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermia (Winkjosastro, 2002).
    Kunjungan kedua, dilakukan pada 6 hari setelah persalinan. Kunjungan ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan involusi uterus berjalan normal, yaitu uterus berkontraksi dan fundus di bawah umbilikus. Menilai adanya tanda-tanda infeksi atau perdarahan abnormal. Memastikan ibu mendapat cukup makanan, cairan dan istirahat. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tak memperlihatkan tanda-tanda penyulit. Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari.
  Kunjungan ketiga dilakukan pada dua minggu setelah persalinan, yang mana kunjungan ini tujuannya sama dengan kunjungan yang kedua. Setelah kunjungan ketiga maka dilakukanlah kunjungan pada 6 minggu setelah persalinan yang merupakan kujungan terakhir selama masa nifas, yang mana kunjungan ini bertujuan untuk menanyakan pada ibu tentang penyulit-penyulit yang ia atau bayi alami, juga memberikan konseling untuk mendapatkan pelayanan KB secara dini (Saifuddin, 2002).
2.3.4.      Perubahan- Perubahan Fisiologis yang Terjadi Selama Nifas
  Dalam masa nifas alat-alat genitalia interna maupun eksterna akan berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan-perubahan alat-alat genitalia ini dalam keseluruhannya disebut involusi. Disamping involusi ini, terjadi juga perubahan penting lain, seperti timbulnya laktasi yang dipengaruhi oleh Lactogenic Hormone dari kelenjar hipofisis terhadap kelenjar-kelenjar mamma (Saifuddin, 2002).
  Setelah janin dilahirkan fundus uteri kira-kira setinggi pusat; segera setelah plasenta lahir, tinggi fundus uteri kurang lebih 2 jari di bawah pusat. Uterus menyerupai suatu buah advokat gepeng berukuran panjang kurang lebih 15 cm, lebar kurang lebih 12 cm dan tebal kurang lebih 10 cm. Dinding uterus sendiri kurang lebih 5 cm, sedangkan pada bekas implantasi plasenta lebih tipis daripada bagian lain. Pada hari ke-5 postpartum uterus kurang lebih setinggi 7 cm di atas simfisis atau setengah simfisis pusat, sesudah 12 hari uterus tidak dapat diraba lagi di atas simfisis. Bagian bekas implantasi plasenta merupakan suatu luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri, setelah persalinan. Penojolan tersebut, dengan diameter kurang lebih 7,5 cm, sering disangka sebagai suatu bagian plasenta yang tertinggal. Sesudah 2 minggu diameternya menjadi 3,5 cm dan pada 6 minggu telah mencapai 2,4 mm (Saifuddin, 2002).
  Uterus gravidus a term beratnya kira-kira 1000 gram. Satu minggu postpartum berat uterus akan menjadi kurang lebih 500 gram, 2 minggu postpartum menjadi 300 gram, dan setelah 6 minggu postpartum, berat uterus menjadi 40 sampai 60 gram(berat uterus normal kurang lebih 30 gram). Otot-otot uterus berkontraksi segera postpartum. Pembuluh-pembuluh darah yang berada di antara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah plasenta dilahirkan (Saifuddi, 2002).
   Perubahan-perubahan yang terdapat pada serviks ialah segera postpartum bentuk serviks agak menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan oleh korpus uteri yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korpus dan serviks uteri terbentuk semacam cincin. Warna serviks sendiri merah kehitam-hitaman karena penuh pembuluh darah. Konsistensinya lunak. Segera setelah janin dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat dimasukkan ke dalam kavum uteri. Setelah dua jam hanya dapat dimasukkan 2-3 jari, dan setelah 1 minggu, hanya dapat dimasukkan 1 jari ke dalam kavum uteri (Saifuddin, 2002).
   Perubahan-perubahan yang terdapat pada endometrium ialah terjadi degenerasi, dan nekrosis di tempat implantasi plasenta. Pada hari pertama endometrium yang kira-kira setebal 2-5 mm itu mempunyai permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua dan selaput janin. Setelah 3 hari, permukaan endometrium mulai rata akibat lepasnya sel-sel dari bagian yang mengalami degenerasi. Sebagian besar endometrium terlepas. Regenerasi endometrium terjadi dari sisa-sisa sel desidua basalis, yang memakan waktu 2 sampai 3 minggu. Jaringan-jaringan di tempat implantasi plasenta mengalami proses yang sama, ialah degenerasi dan kemudian terlepas. Pelepasan jaringan berdegenerasi ini berlangsung lengkap. Dengan demikian, tidak ada pembentukan jaringan parut pada bekas tempat implantasi plasenta (Winkjosastro, 2002).
   Ligamen-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang meregang sewaktu kehamilan dan partus, setelah janin lahir, berangsur-angsur ciut kembali seperti sediakala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan uterus jatuh ke belakang. Tidak jarang pula wanita mengeluh “kandungannya turun” setelah melahirkan oleh karena ligament, fasia, jaringan penunjang alat genitalia menjadi agak kendor. Luka-luka jalan lahir, seperti bekas episiotomi yang telah dijahit, luka pada vagina dan serviks bila tidak seberapa luas akan mudah sembuh, kecuali bila terdapat infeksi (Winkjosastro, 2002).
Sejak kehamilan muda, sudah terdapat persiapan-persiapan pada kelenjar-kelenjar mamma untuk menghadapi masa laktasi. Perubahan yang terdapat pada kedua mamma antara lain:
1)      proliferasi jaringan, terutama kelenjar-kelenjar dan alveolus mamma dan lemak.
2)       pada duktus laktiferus terdapat cairan yang kadang-kadang dapat dikeluarkan, cairan tersebut berwarna kuning (kolostrum).
3)       hipervaskularisasi terdapat pada permukaan maupun pada bagian dalam mamma. Pembuluh-pembuluh vena berdilatasi dan tampak dengan jelas.
4)      setelah partus, pengaruh menekan dari estrogen dan progesteron terhadap hipofisis hilang. Timbul pengaruh hormon-hormon hipofisis kembali, antara lain lactogenic hormone (prolaktin) yang akan dihasilkan pula. Mamma yang telah dipersiapkan pada masa hamil terpengaruhi, dengan akibat kelenjar-kelenjar berisi air susu. Pengaruh oksitosin mengakibatkan mioepitelium kelenjar-kelenjar susu berkontraksi, sehingga pengeluaran air susu dilaksanakan. Umumnya produksi air susu baru berlangsung betul pada hari ke-2 sampai ke-3 postpartum (Rachimhadhi, 2002).
  Suhu badan wanita inpartu tidak lebih dari 37,20 Celcius. Sesudah 12 jam pertama melahirkan, umumnya suhu badan akan kembali normal. Bila suhu badan lebih dari 38,00 Celcius, mungkin ada infeksi. Nadi umumnya berkisar antara 60-80 denyutan per menit. Segera setelah partus dapat terjadi bradikardia. Pada masa nifas umumnya denyut nadi lebih labil dibandingkan dengan suhu badan (Winkjosastro, 2002).
Pada sistem pernafasan, fungsi pernapasan kembali pada rentang normal dalam jam pertama pascapartum. Napas Pendek, cepat, atau perubahan lain memerlukan evaluasi adanya kondisi-kondisi abnormal (Varney, 2003).
      Lokhea adalah sekret yang keluar dari kavum uteri dan vagina pada masa nifas. Pada hari pertama dan kedua lokhea rubra atau kruenta, terdiri atas darah segar bercampur sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, sisa-sisa verniks kaseosa, lanugo, dan mekonium. Pada hari ke-3 sampai ke-7 keluar cairan berwarna merah kuning berisi darah dan lendir. Pada hari ke-7 sampai ke-14 cairan yang keluar berwarna kuning, cairan ini tidak berdarah lagi, setelah 2 minggu, lokhea hanya merupakan cairan putih yang disebut dengan lokhea alba (Winkjosastro, 2002).
2.3.5.      Perawatan -perawatan pada Masa Nifas
      Umumnya wanita sangat lelah setelah melahirkan. Karenanya, ia harus cukup dalam pemenuhan istirahatnya. Dari hal tersebut ibu harus dianjurkan untuk tidur terlentang selama 8 jam pasca persalinan. Kemudian boleh miring-miring ke kanan dan ke kiri, untuk mencegah adanya thrombosis. Pada hari ke-2 barulah ibu diperbolehkan duduk, hari ke-3 jalan-jalan, dan hari ke-4 atau ke-5 sudah diperbolehkan pulang (Winkjosastro, 2002 ).
          Diet yang diberikan harus bermutu tinggi dengan cukup kalori, mengandung cukup protein, cairan, serta banyak sayur-sayuran dan buah-buahan (Winkjosastro , 2002).
     Miksi atau berkemih harus secepatnya dapat dilakukan sendiri. Kadang-kadang wanita mengalami sulit kencing karena sfingter uretra tertekan oleh kepala janin, sehingga fungsinya terganggu. Bila kandung kemih penuh dan wanita tersebut tidak dapat berkemih sendiri, sebaiknya dilakukan kateterisasi dengan memperhatikan jangan sampai terjadi infeksi (Winkjosastro, 2002).
    Defekasi atau buang air besar harus ada dalam 3 hari postpartum. Bila ada obstipasi hingga skibala tertimbun di rectum, dapat dilakukan klisma atau diberikan laksans per oral atau per rectal. Namun dengan diadakannya mobilisasi secara dini, tidak jarang retensio urin et alvi dapat diatasi. Di sini dapat ditekankan bahwa wanita baru bersalin memerlukan istirahat dalam jam-jam pertama postpartum, akan tetapi jika persalinan ibu serba normal tanpa kelainan, maka wanita yang baru bersalin itu bukan seorang penderita dan hendaknya jangan dirawat seperti seorang penderita. (Winkjosastro,  2002).
        Bila wanita itu sangat mengeluh tentang adanya after paints atau mules, dapat diberi analgetik atau sedatif supaya ia dapat beristirahat atau tidur. Delapan jam postpartum wanita tersebut disuruh mencoba menyusui bayinya untuk merangsang timbulnya laktasi. Kecuali bila ada kontraindikasi untuk menyusui bayinya, seperti wanita yang menderita tifus abdominalis, tuberculosis aktif, diabetes mellitus berat, psikosis, putting susunya tertarik ke dalam dan lain-lain. Bayi dengan labio palato skiziz (sumbing) tidak dapat menyusu oleh karena tidak dapat menghisap. Hendaknya hal ini diketahui oleh bidan atau dokter yang menolongnya. Minumannya harus diberikan melalui sonde. Begitu pula dengan bayi yang dilahirkan dengan alat seperti ekstraksi vakum atau cunam dianjurkan untuk tidak menyusu sebelum benar-benar diketahui tidak ada trauma kapitis. Pada hari ketiga atau keempat bayi tersebut baru diperbolehkan untuk menyusu bila tidak ada kontraindikasi. (Winkjosastro, 2002).
     Perawatan mamma harus sudah dilakukan sejak kehamilan, areola mamma dan puting susu dicuci teratur dengan sabun dan diberi minyak atau cream , agar tetap lemas, jangan sampai kelak mudah lecet dan pecah-pecah. Sebelum menyusui mamma harus dibikin lemas dengan melakukan massage secara menyeluruh. Setelah areola mamma dan putting susu dibersihkan, barulah bayi disusui (Winkjosastro, 2002 ).
      Bayi yang meninggal, laktasi harus dihentikan dengan cara mengadakan pembalutan kedua mamma hingga tertekan, dan dapat pula diberikan Bromocryptin sehingga pengeluaran lactogenic hormone tertekan (Winkjosastro , 2002 ).
      Pengunjung atau tamu sehat boleh mengunjungi wanita postpartum. Hendaknya para pengunjung harus dalam keadaan sehat dan bersih untuk mencegah kemungkinan terjadinya penularan penyakit oleh karena wanita dalam masa nifas mudah sekali terkena infeksi. Pemakaian gurita yang tepat masih dibenarkan pada wanita postpartum. Ketika dipulangkan, diberi penjelasan dan motivasi tentang cara menjaga bayi, memberi susu dan makanan bayi, keluarga berencana, hidup dan makanan sehat, dan dipesan untuk memeriksakan diri lagi (Winkjosastro, 2002).
2.4.  Konsep Budaya dalam Perawatan Postpartum
2.4.1.   Konsep Budaya
Kebudayaan merupakan wawasan pegangan yang diambil dari pemahaman makna realitas yang dikembangkan menjadi pijakan sikap tingkah laku dalam menghadapi hidup dalam realitas itu, maka kebudayaan dilihat dari potensi-potensi (kemampuan-kemampuan) kreatif manusia (Mudji Sutrisno, 2006).
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan social, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya (Mulyana, 2002).
     Manusia melengkapi dirinya dengan kebudayaan, yaitu perangkat pengendali berupa rencana, aturan, resep, dan instruksi yang digunakan untuk mengatur terwujudnya tingkahlaku dan tindakan tertentu (Geertz, 1973). Dalam pengertian ini, kebudayaan berfungsi sebagai “alat” yang paling efektif dan efisien dalam menghadapi lingkungan (Mudji sutrisno, 2006).
       Kebudayaan bukan sesuatu yang dibawa bersama kelahiran, melainkan diperoleh dari proses belajar dari lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Dengan kata lain, hubungan antara manusia dengan lingkungannya dijembatani oleh kebudayaan yang dimilikinya. Dilihat dari segi ini, kebudayaan dapat dikatakan bersifat adaptif karena melengkapi manusia dengan cara-cara menyesuaikan diri pada kebutuhan fisiologis dari diri mereka sendiri, penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik geografis maupun lingkungan sosialnya. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan bertahan malah berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh suatu masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Kebiasaan atau kelakuan yang terpolakan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan penyesuaian masyarakat terhadap lingkungannya, tetapi cara penyesuaian itu bukan berarti mewakili semua cara penyesuaian yang mungkin diadakan oleh masyarakat lain dalam kondisi yang sama. Dengan kata lain, masyarakat manusia yang berlainan mungkin akan memilih cara-cara penyesuaian yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan timbulnya keaneka ragaman budaya (Mudji Sutrisno, 2006).
2.4.2. Konsep Budaya tentang Perawatan Masa Nifas
Terbentuknya janin dan kelahiran bayi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam kelangsungan kehidupan manusia, namun berbagai kelompok masyarakat dengan kebudayaannya di seluruh dunia memiliki aneka persepsi, interpretasi dan respon perilaku dalam menghadapinya, dengan berbagai implikasinya terhadap kesehatan (Mudji Sutrisno, 2006).
Menurut pendekatan biososiokultural persalinan, kehamilan dan kelahiran bukan hanya dilihat semata-mata dari aspek biologis dan fisiologisnya saja. Lebih dari itu, fenomena ini juga harus dilihat sebagai suatu proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal, seperti pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung , cara-cara pencegahan bahaya, penggunaan ramu-ramuan atau obat-obatan dalam proses kelahiran, cara-cara menolong persalinan, dan pusat kekuatan dalam perawatan bayi dan ibunya (Mudji Sutrisno, 2006).
Berbagai kelompok masyarakat di berbagai tempat yang menitik beratkan perhatian mereka terhadap aspek kultural dari kelahiran menganggap peristiwa tersebut sebagai tahapan kehidupan yang harus dijalani di dunia. Pada saat lahirnya, bayi dianggap berpindah dari kandungan ibu ke dunia untuk menjalankan kehidupan baru sebagai manusia. Begitu pula sang ibu mulai memasuki tahapan baru dalam kehidupannya sebagai orangtua, untuk menjalankan peran baru sebagai seorang ibu (Mudji Sutrisno, 2006).
Dalam memahami sikap dan perilaku menanggapi kehamilan, kelahiran serta perawatan ibu dan bayinya, faktor-faktor sosial budaya sangat mempunyai peranan penting. Sebagian pandangan budaya mengenai hal-hal tersebut telah diwariskan turun-temurun dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan (Mudji Sutrisno, 2006).
Pada masyarakat di Bandanaera, Kabupaten Maluku Tengah, perawatan postpartum dilakukan salah salah satunya dengan segera memberi minuman pada wanita yang baru melahirkan, yang minuman tersebut terdiri dari campuran jeruk asam (jeruk nipis), halia (jahe) yang diparut, gula merah dan lada, yang kesemuanya dimasak hingga menjadi cairan kental. Kemudian setelah kurang lebih 3 jam pasca persalinan ibu nifas diberi makan rujak, dengan tujuan agar darah nifasnya keluar, dan dinding peranakan menjadi bersih dari gumpalan darah, yang disebut kotor banta. Bila ketika melahirkan terjadi “sobekan”, keadaan ini dipulihkan dengan pasir panas yang dibungkus daun, kemudian dibungkus lagi dengan kain, untuk ditekan-tekankan kebagian jalan lahir yang sobek selama 9 hari, pada pagi dan sore hari. Bahan yang sama juga ditepuk-tepuk ke seluruh tubuh wanita yang baru bersalin. Pada masyarakat Maluku Tengah wanita postpartum juga diurut, diuapi, diberi minuman berupa jamu-jamuan, dan aneka perlakuan lainnya yang bertujuan untuk kesejahteraan ibu dan bayinya (Mudji Sutrisno, 2006).
Pada masyarakat Bajo di Saloso, Kabupaten Kendari, untuk keselamatan perempuan nifas dan bayinya dilakukan upacara adat salussu. Upacara salussu ini dilaksanakan dengan menyediakan daun pisang panjang sebanyak dua lembar, yang masing-masing diisi dengan ketan putih dan hitam, tumpi-tumpi, yakni sejenis ikan yang ditumbuk kemudian dibentuk bulat kecil sebanyak 40 buah. Seperti halnya dengan upacara adat lainnya, kemenyan, kelapa, dan bedak kuning senantiasa disajikan sebagai pelengkap upacara. (Mudji Sutrisno, 2006).
Dalam upacara ini ditambahkan pula dua buah cincin emas. Apabila bayi yang lahir laki-laki, sajian ditambah lagi dengan dua ekor ayam jantan, sedangkan jika bayi seorang perempuan, disediakan dua ekor ayam betina. Hidangan yang dibuat dalam dua bagian tersebut dibagi dua, sebuah diberikan kepada sandro (dukun yang bertugas sebagai pemimpin acara), sedangkan yang lainnya ditujukan bagi keluarga sang bayi (Mudji Sutrisno, 2006).
Perawatan nifas menurut budaya masyarakat Aceh. Seperti, pantangan untuk meninggalkan rumah selama 44 wanita yang baru melahirkan. Selama masa nifas perempuan pada masyarakat Aceh disuruh berbaring pada suatu pembaringan yang ditinggikan yang dasarnya diberi batu bata panas. Kakinya terlentang dan dirapatkan. Lengannya tidak boleh diangkat di atas kepala. Ibunya menjaganya, seraya mengawasi supaya perempuan nifas tersebut tetap mengikuti petunjuk mengenai posisi kaki dan cara berbaring sekali-sekali harus dirubah supaya seluruh badan wanita dihangatkan. Penghangatan badan dimulai pada hari sesudah melahirkan dan berlangsung sekurang-kurangnya 20 hari dan paling lama 44 hari. Ibu yang baru melahirkan mandinya dibatasi agar berkeringat, karena bila ibu postpartum berkeringat dianggap baik untuk proses pengeringan luka-luka jalan lahir (Swasono, 2002).
Selain penghangatan badan, selama minggu pertama ibu postpartum juga diurut oleh dukun beranak dengan menggunakan minyak kelapa. Dalam minggu pertama ini, wanita yang baru bersalin bebas makan dan minum apa saja yang diinginkannya. Tetapi sesudah hari ketujuh, waktu dia diberi minuman yang diramu dari jenis daun-daunan tertentu, dia pantang makan dan minum beberapa jenis bahan makanan yang paling biasa dikonsumsi masyarakat Aceh, pantangan makan tersebut berlangsung selama 5 bulan atau lebih. Makanan yang dilarang itu misalnya adalah ketan, daging kerbau, telur bebek, daging bebek dan semua jenis buah-buahan (Mudji Sutrisno, 2006).
Dengan berbagai variasi kultur atau budaya di atas, umumnya sering berhubungan dengan faktor sosial ekonomi dan pendidikan. Oleh karena itu, meskipun petugas kesehatan mungkin menemukan suatu bentuk perilaku atau sikap yang terbukti kurang menguntungkan bagi kesehatan, seringkali tidak mudah bagi mereka untuk mengadakan perubahan terhadapnya. Hal tersebut diakibatkan oleh telah tertanamnya keyakinan yang melandasi sikap dan perilaku itu secara mendalam pada kebudayaan warga suatu komuniti (Swasono, 2002).
2.4.3.   Fenomenologi
Fenomenologi berakar pada filsafat tradisional yang dikembangkan oleh Husserl dan Heidegger yang mana pemikirannya bersumber dari pengalaman hidup manusia. Fenomenologi adalah suatu penelitian tentang gejala dalam situasi yang alami dan kompleks, yang hanya mungkin menjadi bagian dari alam kesadaran manusia-sekomprehensif apapun-ketika telah direduksi ke dalam suatu parameter yang terdefenisikan sebagai fakta, dan yang demikian terwujud sebagai realitas (Wignjosoebroto, 2001 dalam Bungin, 2006).
 Fenomenologi sering digunakan sebagai anggapan umum untuk menunjukkan pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjektif yang ditemui. Fenomenologi juga digunakan sebagai pendekatan dalam metodelogi kualitatif. Fenomenologi merupakan pandangan berfikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi–interpretasi dunia (Moleong, 2007).
Teori fenomenologi terutama membagi tentang isu-isu bahasa, sejauh mana diberikan kepada peranan dalam membentuk pengalaman. Peneliti dalam pandangan fenomenologi berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berasal dalam situasi-situasi tertentu. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti mereka (Moleong 2007).
Penelitian sosial yang menggunakan pendekatan kualitatif diuraikan oleh Hutomo (1992), (Moleong, 2007), merupakan penelitian sosial yang sumber datanya bersifat ilmiah, artinya peneliti harus berusaha memahami fenomena sosial secara langsung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Peneliti sendiri adalah merupakan instrumen penelitian yang paling penting dalam pengumpulan data dan penginterpretasian data. Penelitian kualitatif bersifat memberikan deskripsi artinya mencatat segala gejala (fenomena) yang dilihat dan didengar. Data dan informan harus berasal dari tangan pertama. Dan kebenaran data harus dicek dengan data lain, misalnya wawancara atau observasi mendalam.
2.5.       Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prilaku Ibu Nifas Tentang Penggunaan Obat Tradisional
2.5.1.   Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tau dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagai besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Natoatmojo, 2008).
Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemuai dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau di katakana sebelumnya (http://id.m. Wikipedia.Org/wiki/pengetahuan di akses 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Roger 1974 (Natoatmojo, 2007) diketahui bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Over Behaviour).
Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa prilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada prilaku yang tidak di dasari oleh pengetahuan, sebelum mengadopsi prilaku baru di dalam diri orang tersebut akan terjadi proses yang berurutan, yaitu:
1.    Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu stimulus (objek).
2.    Interes (merasa tertarik) terhadap stimulasi atau objek tersebut, di sini sikap subjek sudah mulai timbul.
3.    Evalution (menimbang-nimbang) terhadap baik atau tidaknya stimulus terhadap bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4.    Trial, subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5.    Adaptasi, subjek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulus.
Apabila penerima prilaku baru atau adopsi prilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka prilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya bila prilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka prilaku tersebut tidak akan lama.
Natoadmojo 2007 juga menjelaskan pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu:
1)   Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk keadaan pengetahuan mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2)   Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai sesuatu kemampuan menjelaskan secara benar terhadap objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.
3)   Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi kondisi ril sebenarnya.
4)   Analisis (Analysis)
Menunjukkan kepada sesuatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lainnya.
5)   Sintesis (Systesis)
Sisntesis  menunjukkan  kepada  suatu  kemampuan  untuk   meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhannya yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulis baru dari formasi-formasi yang ada.
6)   Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek. Penelitian-penelitian itu berdasarkan suatu kriteria yang diketahui sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ditentukan sendiri menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
                        Pentingnya pengetahuan ibu tentang kesehatan anak merupakan salah satu faktor yang mendukung ibu-ibu yang mempunyai balita dalam pemberian ASI eklusif sehingga ibu-ibu tidak memberikan makanan tambahan terlalu dini. Semakin tinggi ilmu pengetahuan, maka wawasan yang didapatkan akan semakin luas (Sarwono, 2009).
Cara pengukuran pengetahuan dibagi atas 3 katagori diantaranya sebagai berikut : (Arikunto, 2010)
1)      Baik                   : Jika responden menjawab benar 76% - 100%
2)      Cukup                : Jika responden menjawab benar 56% - 75%
3)      Kurang               : Jika responden menjawab benar ≤ 55%

2.5.2.  Budaya
Pengertian Budaya atau culture  dalam bahasa Inggris adalah, berasal dari bahasa Yunani culere yang berarti mengerjakan tanah. Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta ’buddhayah’, yaitu bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk ’budi-daya’ yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtisar manusia (Widyosiswoyo, 2004).
2.5.2.1.    Cakupan Budaya
Kebudayaan yang diartikan sebagai totalitas pikiran, tindakan dan karya manusia tersebut mempunyai tiga wujud (Koentjoroningrat, 1987 dalam Ibrahim, 2003). Pertama, kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma-norma, peraturan, yag bersifat abstrak yang hanya dapat dirasakan, tetapi tidak dapat dilihat dan diraba. Widyosiswoyo (2004) mengatakan gagasan-gagasan yang ada di masyarakat saling terkait antara satu dengan yang lainnya, sehingga membentuk suatu sistem budaya atau culture system, contohnya adalah adat istiadat dan ilmu pengetahuan.
Wujud kedua adalah suatu kompleks aktivitas, tingkah laku berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus dari manusia dalam masyarakat yang mempunyai sifat dapat dirasakan dan dilihat tetapi tidak dapat diraba. Widyosiswoyo (2004) mengatakan wujud ini sebagai Sistem Sosial atau social system, contohnya adalah gotong royong dan kerja sama.
Wujud ketiga adalah kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia yang bersifat dapat dilihat, dirasa, dan diraba. Wujud ini paling konkrit yang disebut kebudayaan fisik atau material (material culture), contohnya adalah Candi borobudur, rumah adat sampai kepada pesawat terbang, pesawat ruang angkasa.
Dalam Hal ini untuk menjadi tolak ukur Budaya berdasarkan dari pemahaman teori diatas adalah sebagai berikut :
1. Ya             : Jika Responden Menggunakan Obat Tradisional.
2. Tidak        : Jika Responden Tidak Menggunakan Obat Tradisional.
2.5.3.    Kepercayaan
Kepercayaan merupakan suatu hal yang penting bagi sebuah komitmen atau perjanjian, dan komitmen hanya dapat direalisasikan jika suatu saat berarti. Kepercayaan ada jika para pelanggan percaya bahwa penyedia layanan jasa tersebut dapat dipercaya dan juga mempunyai derajat integritas yang tinggi. (Karsono, 2006)
Kepercayaan konsumen adalah semua pengetahuan yang  dimiliki konsumen dan semua kesimpulan yang dibuat konsumen  tentang objek, atribut dan manfaatnya. (Sunarto, 2006)
Keyakinan atau kepercayaan adalah suatu faktor penting yang dapat mengatasi krisis dan kesulitan antara rekan bisnis selain itu juga merupakan aset penting dalam mengembangkan hubungan jangka panjang antar organisasi. Suatu organisasi harus mampu mengenali faktor-faktor yang dapat membentuk kepercayaan tersebut agar dapat menciptakan, mengatur, memelihara, menyokong dan mempertinggi tingkat hubungan dengan pelanggan  (Karsono, 2008). Dalam konteks Relationship Marketing, kepercayaan merupakan salah satu dimensi dari Relationship Marketing untuk menentukan sejauhmana apa yang dirasakan suatu pihak integritas dan janji yang ditawarkan pihak lain.
Kotler, (1998) menyatakan Hubungan Pemasaran  (Relationship Marketing) adalah proses menciptakan, mempertahankan dan meningkatkan hubungan yang kuat, bernilai tinggi dengan pelanggan dan pihak yang berkepentingan lain. Hubungan pemasaran berarti bahwa pelanggan atau organisasi harus memfokuskan pada mengelola pelanggan di samping produk. Relationship Marketing sendiri mendorong para marketer untuk selalu berpikir dalam frame work jangka panjang.
Kepercayaan dapat diartikan dengan kepercayaan (belief) atau keyakinan (conviction) suatu pihak terhadap pihak lain atau terhadap suatu hubungan (relationship). (Yuniningsih, 2007).
Menurut Sunarto ( 2006 ), berdasarkan teori yang dikemukan bahwa yang menjadi tolak ukur Kepercayaan adalah:
1.    Ya              : Apabila Responden Percaya dan Menggunakan Obat Tradisional
2.  Tidak          :    Apabila Responden Tidak  percaya dan tidak  menggunakan obat tradisional.


  


2.6.   Kerangka Teoritis   

Notoatmodjo (2003)
-       Budaya
-       Pengetahuan
-       Kepercayaan


Perilaku


Widyosiswoyo, (2004)
Budaya
 

 

 


Skema 2.1. Kerangka Teoritis

 Lanjutkan Ke Ibu Nifas Bab III

 


 


0 comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Nama saya munawir, tinggal di aceh, sigli

BTemplates.com

Chattelblog.com
Powered by Blogger.

Popular Post